Aku yang bukan aku

Berderu
2 min readSep 18, 2023

--

Kali ini aku sedang berada di kamar mungil yang ingin sekali aku ganti. Namun tetap saja, lagi-lagi sulit untuk mencari pengganti.

Sesulit mencari kerja dan entah kapan statusku menjadi pegawai tetap.

Bisa dibilang kata ‘fresh graduate’ tidak lagi berada dalam diriku. Lepas dari belenggu ‘anak baru lulus kemarin’ pun tidak serta merta membuatku keluar dari jebakan status terendah dalam kasta sewa-menyewa (jasa) manusia ini.

Hidup dengan penuh rasa bertanya ‘kapan ya jadi pegawai tetap’ dan ‘dosa apa ya yang membuat hidup jadi semakin berat’ membuat hati dan raga acapkali sulit untuk sinkron.

Ingin rasanya hati menangis setiap detik,
Tapi logika terus mencambuk diri bahwa hidup tetap harus berjalan — tanpa tangisan.

Bagaimana pun juga, pekerjaan harus terus dijalankan.
Bagaimana pun juga, kalau tidak bekerja tidak akan bisa makan.
Lanjutannya, tidak kerja = tidak hidup.

Dalam diam mungkin hati ingin sekali berteriak bahwa aku benar-benar tertekan. Tapi bagaimana pun juga, kehidupan ini ya cuman diri sendiri yang menjalaninya. Hanya satu orang di muka bumi ini yang ditunjuk untuk menjalankan peran ini. Dan aku orangnya.

Kesedihan yang terus-terus bergejolak ingin keluar dari tubuh acapkali memberi sinyal di setiap film yang ditonton. Menangis tersedu-sedu dan menjadi norak setiap menonton film genre sedih adalah suatu interpretasi terselubung yang sebenarnya bisa saja bukan filmya yang menyedihkan.

Telan saja semuanya sendiri.

Bertanya kepada diri sendiri pun rasanya sudah tidak perlu lagi. Bukan karna tidak peduli, ya… tidak ada waktu saja untuk peduli. Sungguh melelahkan hidup tanpa tujuan. Hidup dalam kegagalan dengan ketidakmampuan diri dalam mencari kehidupan yang lebih baik.

“Sampai kapan akan seperti ini?”
“Sampai kapan terus-terusan sendiri dalam menjalani hidup?”

Lucu rasanya jika menunggu balasan dari seseorang dan bertanya ‘kenapa ya pesanku tidak pernah dibalas?’. Lucu karena ibu sendiri acapkali mengabaikan pesan jika merasa tidak terima dengan ucapanku. Silent treatment pun sudah terdengar seperti makanan sehari-hari yang sulit dilepas — darinya kepadaku.

Penolakan demi penolakan, pengucilan demi pengucilan sudah tidak asing lagi.

Pengucilan terdengar jahat, tapi apa tidak jahat dari perbuatan meninggalkan pesan yang butuh jawaban? Namun pengucilan cenderung terdengar klise atas pembelaan yang dibungkus oleh frasa ‘tidak ada jawaban adalah jawaban’.

Diri sejatinya tidak pernah memaksa untuk terbiasa dengan pengucilan. Tapi pada akhirnya, dikucilkan adalah sudah acapkali biasa terjadi. Tidak bisa diterima pun, harus diterima. Lagi-lagi, bagaimana pun hidup tetap harus berjalan.

--

--